Daftar Blog Saya

Kamis, 29 September 2016

Selamat pagi Gunung Ijen

Ngopi pagi dikaki gunung ijen


Pagi itu aku keluar dari tendaku, dinginnya hujan semalam masih terasa disetiap udara yang kuhirup. Disebelah kanan tenda kulihat dia menyiapkan dua cangkir kopi untuk kami, satu kopi mochaccino untukku dan satu kopi hitam pahit untuknya sendiri.

Kami berdua duduk diatas matras hitam dibawah jejeran pohon pinus yang mengeluarkan getah dengan aroma khas terpentin. aroma yang selalu membuatku merasa ditenangkan. Itu bukan sekumpulan pohon dengan diameter besar tapi cukup menaungi tenda kecil kami.

Lalu dia mulai meracau tentang kenangannya mendaki gunung bersama teman temannya dimasa muda. Tangannya bergerak gerak mengikuti nada bicaranya penuh semangat. Wajahnya juga terlihat bercahaya karena ditimpa sinar matahari  lembut yang menerobos diantara ranting ranting pohon. Aku menatapnya lekat dan dia berhasil menyadarinya.

Tiba tiba camping ground paltuding didepan kami menjadi lebih sunyi saat kami bertatap mata. Dia tersenyum lalu merangkulkan sebelah tangan ke bahuku. Dia meminum kopinya sambil menatap jauh. Aku tidak berhasil menebak apa yang dipikirkannya tapi  hatiku berdesir hebat seakan berlomba dengan deru angin gunung Ijen. Sejenak mulai canggung dengan situasinya, Aku hanya menatap daun daun kering disekitar kakiku yang terbungkus sepatu gunung,menyembuyikan wajahku yang malu.

Dia meletakkan cangkir kopinya di tanah, rupanya hawa dingin membuat kopinya tidak lagi mengeluarkan asap hangat. Lalu kedua tangannya menegakkan bahuku menghadap kearahnya. Disentuhnya kerah jaketku yang berwarna ungu pekat dan merapikannya. Tidak ada kata kata apapun, tapi aku sudah merasakan ada pembicaraan hangat dari dalam hati kita masing masing dan arahnya kebahagiaan.

@camping ground paltuding, kawah ijen.

Seperti Sritanjung

Aku berjalan mengitari candi berbentuk paduraksa yang disusun dari bata berwarna eksotik. Di bahu kiri kaki candi, tanganku mulai meraba-raba dinding bata yang entah sudah berusia berapa lama, beberapa bagian sudah tampak tak terlihat tapi aku masih bisa merasakan potongan cerita pada pahatannya.

"Ada sesuatu yang spesial? " kamu bertanya sambil mengalungkan tali kamera dibahu kananmu dan ikut duduk berjongkok disisiku.

 "Aku mencari ini", aku menunjuk sebuah halaman buku, ada gambar yang sama dengan salah satu sisi candi dihadapan ku. Alismu berkerut, mencoba memahami gambar dari buku tipis yang aku dapatkan dengan tiga lembar uang sepuluh ribuan dari seorang bapak tua penjaga pendopo agung yang kami kunjungi sebelumnya.

 "Ini relief Sritanjung, cerita asal usul Banyuwangi yang ngehit dijaman Majapahit". Kuarahkan tanganku pada didinding candi yang sudah menjadi saksi banyak kisah di masa lalu.


"Banyuwangi?"


"Iya,Banyuwangi... tempat kelahiranku". Tiba tiba ada gelombang kerinduan besar dengan tempat dimana aku lahir dan dibesarkan.

 "Sritanjung adalah lambang kesetiaan seorang istri" Kamu menatapku serius, "apa kamu juga akan setia?" "Tentu saja". Aku menjawab cepat dengan pasti. Tidak ada gumpalan awan dilangit, hingga aku menyadari matahari bisa menyinari bebas anak rambut ikalmu yang menari-nari karena diterpa angin. Senyummu mekar, terlihat persis seperti adonan roti yang keluar dari alat pemanggang. Mengembang sempurna.

 "Tapi jangan harap aku akan menceburkan diri kesungai untuk membuktikannya-tidak akan". Ujarku sambil berjalan mundur menjauhimu.

 Lalu kamu berdiri dan tertawa melihat jariku telunjukku yang kuangkat kearahmu dan kugerakkan kekiri dan kekanan berulang ulang. "

aku juga tidak akan meragukanmu."ucapmu dengan yakin. "sekarang, berbaliklah...biar aku ambil photomu dari belakang", katamu sambil menyiapkan kamera.

 "oh lagi..Kenapa harus selalu dari belakang?"

 "Sungguh, kamu cantik jika tampak punggung"

 Aku memicingkan mata dan bertanya, "itu tidak terdengar seperti pujian"

 Kamu melangkah cepat kearahku, lenganmu yang kokoh melingkar di leherku menarikku dalam pelukanmu. Aku dan kamu larut dalam tawa, lebur bersama atmosfir semua kenangan yang pernah terjadi ditempat itu, dicandi Bajang Ratu.