Laman

Kamis, 29 September 2016

Seperti Sritanjung

Aku berjalan mengitari candi berbentuk paduraksa yang disusun dari bata berwarna eksotik. Di bahu kiri kaki candi, tanganku mulai meraba-raba dinding bata yang entah sudah berusia berapa lama, beberapa bagian sudah tampak tak terlihat tapi aku masih bisa merasakan potongan cerita pada pahatannya.

"Ada sesuatu yang spesial? " kamu bertanya sambil mengalungkan tali kamera dibahu kananmu dan ikut duduk berjongkok disisiku.

 "Aku mencari ini", aku menunjuk sebuah halaman buku, ada gambar yang sama dengan salah satu sisi candi dihadapan ku. Alismu berkerut, mencoba memahami gambar dari buku tipis yang aku dapatkan dengan tiga lembar uang sepuluh ribuan dari seorang bapak tua penjaga pendopo agung yang kami kunjungi sebelumnya.

 "Ini relief Sritanjung, cerita asal usul Banyuwangi yang ngehit dijaman Majapahit". Kuarahkan tanganku pada didinding candi yang sudah menjadi saksi banyak kisah di masa lalu.


"Banyuwangi?"


"Iya,Banyuwangi... tempat kelahiranku". Tiba tiba ada gelombang kerinduan besar dengan tempat dimana aku lahir dan dibesarkan.

 "Sritanjung adalah lambang kesetiaan seorang istri" Kamu menatapku serius, "apa kamu juga akan setia?" "Tentu saja". Aku menjawab cepat dengan pasti. Tidak ada gumpalan awan dilangit, hingga aku menyadari matahari bisa menyinari bebas anak rambut ikalmu yang menari-nari karena diterpa angin. Senyummu mekar, terlihat persis seperti adonan roti yang keluar dari alat pemanggang. Mengembang sempurna.

 "Tapi jangan harap aku akan menceburkan diri kesungai untuk membuktikannya-tidak akan". Ujarku sambil berjalan mundur menjauhimu.

 Lalu kamu berdiri dan tertawa melihat jariku telunjukku yang kuangkat kearahmu dan kugerakkan kekiri dan kekanan berulang ulang. "

aku juga tidak akan meragukanmu."ucapmu dengan yakin. "sekarang, berbaliklah...biar aku ambil photomu dari belakang", katamu sambil menyiapkan kamera.

 "oh lagi..Kenapa harus selalu dari belakang?"

 "Sungguh, kamu cantik jika tampak punggung"

 Aku memicingkan mata dan bertanya, "itu tidak terdengar seperti pujian"

 Kamu melangkah cepat kearahku, lenganmu yang kokoh melingkar di leherku menarikku dalam pelukanmu. Aku dan kamu larut dalam tawa, lebur bersama atmosfir semua kenangan yang pernah terjadi ditempat itu, dicandi Bajang Ratu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar